filariasis

Filariasis ( Penyakit kaki gajah ) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat kronis ( menahun ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan bahkan alat kelamin. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat, dan negara. (Depkes,2009)
Penyebab penyakit kaki gajah adalah 3 spesies cacing filaria, yaitu : Wucheria Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Vector penular di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari Genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigenes. (Depkes,2002)
Filariasis di Indonesia tersebar luas hampir di semua provinsi. Berdasarkan hasil survei cepat yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2000, tercatat sebanyak 1.553 desa di 647 puskesmas, di 231 kabupaten, di 26 provinsi merupakan lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6.500 orang dengan microfilaria rate (Mf rate) 3,1% atau sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filarial. Sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas.(Depkes,2002)
Sebanyak 851 juta penderita filariasis berada di Asia Tenggara dan Indonesia menjadi negara dengan kasus filariasis yang paling tinggi. Pada tahun 2001 hingga 2004 berturut -  turut   jumlah kasus filariasis yang terjadi di Indonesia, yaitu sebanyak 6.181 orang, 6.217 orang, 6.635 orang, dan 6.430 orang. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus sebanyak 10.239 orang. Pada tahun 2006, sekitar 66% wilayah Indonesia dinyatakan endemis filariasis. (Puji dkk,2010)
Sampai saat ini filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sampai tahun 2008, dilaporkan jumlah kasus kronis filariasis secara kumulatif sebanyak 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota. Sebanyak 316 kabupaten/kota dari 471 kabupaten/kota telah terpetakan secara epidemiologis endemis filariasis. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi microfilaria di Indonesia 19% (40 juta) dari seluruh populasi 220 juta. Bila tidak dilakukan pengobatan massal, maka akan ada 40 juta penderita filariasis di masa mendatang. Disamping itu, mereka menjadi sumber penularan bagi 125 juta penduduk yang tinggal di 316 kabupaten/kota endemis tersebut. (Depkes, 2008).
Filariasis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan di beberapa daerah tingkat endemisitas cukup tinggi. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa – rawa, dan hutan. Secara umum filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa tenggara, Maluku dan papua. Daerah endemis Wuchereria bancrofti dibedakan menjadi tipe pedesaan dan tipe perkotaan berdasarkan vector yang menularkan. Wuchereria tipe pedesaan ditemukan terutama di papua dan nusa tenggara dengan vector anopheles, culex, dan aides sedangkan tipe perkotaan ditemukan di Jakarta, bekasi, tangerang, semarang, pekalongan dan lebak, pada daerah yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor dengan vector Culex quinquefasciatus. Brugia malayi tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa, pulau di Maluku, sedangkan Brugia timori tersebar di kepulauan flores, alor, rote, timor dan sumba. (Depkes, 2006, 2007).
Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas WHO sudah menetapkan The Global Program to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF) as a Public Health problem by The Year 2020. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitaan. Indonesia melaksanakan eliminasi kaki gajah secara bertahap dimulai tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan dan perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya. (Depkes RI, 2002)
Untuk mengatasi permasalahan filariasis di Indonesia, telah dicanangkan program eliminasi filariasis oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2002. Di Tapin program eliminasi filariasis ini telah berlangsung sejak tahun 2014. Program eliminasi filariasis bertujuan memutuskan mata rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal sehingga terjadi pengurangan drastis mikrofilaria dalam darah tepi yang pada akhirnya dapat mengurangi potensi penularan filariasis oleh vector nyamuk.
Pengobatan massal perlu dukungan masyarakat untuk memperoleh hasil optimal dan menjangkau seluruh masyarakat di daerah endemis. Penjelasan dan pemahaman mengenai efek samping obat perlu dijelaskan kepada masyarakat agar masyarakat tidak menolak untuk diobati.
Kebijakan dan strategi pengendalian filariasis di Indonesia meliputi :
1.      Identifikasi daerah endemis filariasis melalui survey cepat
2.      Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat
3.      Pengobatan massal di daerah endemis filariasis setiap tahun selama 5 tahun berturut-turut
4.      Pengendalian vector
5.      Evaluasi pengobatan massal
            Kegiatan pokok untuk merealisasikan strategi tersebut meliputi :
1.      Meningkatkan promosi
2.      Mengembangkan sumber daya manusia
3.      Menyempurnakan tata organisasi
4.      Meningkatkan kemitraan
5.      Meningkatkan advokasi
6.      Memberdayakan masyarakat
7.      Memperluas jangkauan program

8.      Memperkuat sistem informasi strategis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH SISTEM PENGENDALI ESKALATOR OTOMATIS

Obstruksi jaundice

Anestesi Lokal